PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Keberhasilan
pendidikan formal sangat ditentukan oleh kegiatan pembelajaran yakni
keterpaduan antara kegiatan guru dengan kegiatan siswa. Guru sebagai tenaga
kependidikan yang berhadapan langsung dengan siswa berkewajiban untuk
senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya untuk mengoptimalkan proses
pembelajaran.
Beberapa masalah yang perlu diperhatikan
dalam rangka mengoptimalkan proses pembelajaran misalnya, bagaimana menemukan
cara yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga
siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut, bagaimana
seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswa, bagaimana seorang
siswa dapat membuka wawasan berpikir dengan tingkat kecerdasan yang berbeda
dari setiap siswa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka seorang guru dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran haruslah menguasai dan dapat menerapkan
dengan baik komponen strategi pembelajaran yang terdiri dari pendekatan,
metode, dan teknik.
Dengan kata lain guru merupakan salah satu
faktor yang sangat menentukan kualitas pendidikan karena guru adalah sumber
daya aktif yang berhadapan langsung dengan siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Tugas guru sangat kompleks bukan hanya memberi pengetahuan tetapi menuntun
pembelajaran yang lebih bermakna, agar siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan
tetapi juga memperoleh penguasaan keterampilan, serta dapat menghayati berbagai
peristiwa yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan sehingga terjadi hubungan
antara ilmu yang diperoleh di sekolah dengan kemampuan yang dibutuhkan oleh
dunia kerja. Kenyataan ini menuntut guru agar lebih kreatif dan inovatif dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran kontekstual
mengasumsikan secara pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata
lingkungan seseorang, dan itu dapat terjadi melalui pencarian hubungan yang
masuk akal dan bermanfaat (Umaedi, 2002). Dengan demikian siswa menemukan
hubungan yang sangat bermakna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis
di dalam konteks dunia nyata. Konsep dipahami melalui proses penemuan
pemberdayaan dan hubungan.
Salah satu indikator rendahnya
mutu pendidikan karena kurangnya penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran.
Siswa cenderung hanya menghafal materi, tidak memahami esensi makna materi,
bahkan tidak mengetahui aplikasi tentang materi pembelajaran di dunia nyata.
Materi dan cara pembelajaran di sekolah kurang terkait dengan konteks
lingkungan kehidupan siswa, baik konteks sosial, budaya, geografi, dan
karakteristik siswa itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kurang tepatnya
pendekatan pembelajaran yang selama ini berlangsung di sekolah. Padahal,
pembelajaran diyakini merupakan faktor paling esensial yang berpengaruh
terhadap kualitas lulusan. Oleh karena itu, pengembangan pendekatan
pembelajaran, yang salah satunya melalui inovasi pembelajaran kontekstual
dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Pembelajaran menulis secara
tradisional lebih menekankan hasil daripada proses dengan langkah-langkah:
1.
Siswa memilih topik yang ditentukan
2.
Siswa langsung praktik menulis
3.
Siswa mengumpulkan tulisan
4.
Guru menilai tulisan siswa sehingga siswa jenuh dan tidak tahu proses menulis
yang sebenarnya.
Dalam konteks tersebut siswa perlu
mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan
bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi
kehidupannya. Dengan demikian mereka memposisikan diri sebagai dirinya sendiri
yang memerlukan suatu bekal untuk masa depannya. Dengan pembelajaran berbasis
kontekstual diharapkan akan mempermudah dalam memahami serta dalam meningkatkan
motivasi belajar siswa sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar
belakang di atas, maka masalah utama yang diteliti dalam penelitian ini ialah:
1. Apakah konsep pembelajaran kontekstual itu?
2.
Bagaimanakah penerapan pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran menulis akasara Bali?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep pembelajaran kontekstual.
2. Untuk mengetahui penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran
menulis aksara Bali.
1.4 Manfaat Penulisan
1.
Penelitian ini diharapkan memberi masukan berkenaan dengan penerapan
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis aksara Bali.
2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
guru-guru bahasa Bali dan Sastra Indonesia sehingga dapat dijadikan acuan
belajar dan mengevaluasi diri terhadap kemampuan yang dimilikinya.
1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang penulis
ambil dalam paper ini hanya sebatas penerapan pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran menulis aksara Bali.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pembelajaran
Kontekstual
Pembelajaran kontekstual atau dikenal dengan
istilah Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang menekankan adanya keterkaitan konteks materi dan
aktivitas pembelajaran dengan lingkungan dimana siswa berada, baik lingkungan
sosial, budaya, geografis, dan pemahaman materi sebelumnya serta karakteristik
siswa itu sendiri.
Pembelajaran kontekstual dimaksudkan untuk membekali
siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer)
dari suatu permasalahan ke permasalahan lain, dari satu konteks yang didukung
oleh berbagai penelitian aktual di dalam ilmu kognitif dan teori-teori tingkah
laku. Teori-teori ini dikemukakan Umedi (2002) sebagai berikut:
1. Kontruktivisme
berbasis pengetahuan, baik intruksi langsung maupun kegiatan konstruktivisme
dapat sesuai dan efektif di dalam pencapaian tujuan belajar siswa
2. Pembelajaran berbasis
teori pertumbuhan kecerdasan, bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar akan
memotivasi seseorang untuk terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan
komitmen untuk belajar.
3. Sosialisasi, belajar
adalah proses sosial. Oleh karena itu faktor sosial dan budaya perlu
diperhatikan dalam perencanaan pengajaran. Sifat dasar sosial dari belajar dapat juga mengendalikan penentuan tujuan
belajar.
4. Pembelajaran sosial, pengetahuan dipandang
sebagai pendistribusian dan penyebaran individu, orang lain, dan berbagai benda
(Lave, 1998).
Dengan demikian belajar
berdasarkan pembelajaran kontekstual hanya terjadi jika siswa memproses
informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal
sesuai dengan kerangka pikir yang dimilikinya (ingatan, pengalaman, dan
tanggapan).
Sistem pembelajaran
kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa
melihat makna dalam bahan ajar yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan
konteks lingkungan pribadi, sosial, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut,
sistem pembelajaran kontekstual akan mengarahkan siswa melakukan delapan
komponen sebagai berikut yaitu: melakukan hubungan bermakna, mengerjakan
tugas/pekerjaan berarti, belajar mandiri, kerjasama, berpikir kritis dan
kreatif, mengarahkan kepribadian diri, mencapai standar tinggi, dan menggunakan
penilaian sebenarnya.
Melalui pendekatan kontekstual
diharapkan guru dapat menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Hasil pembelajaran diharapkan dapat lebih bermakna bagi siswa untuk memecahkan
persoalan, berpikir kritis, dan melaksanakan pengamatan serta menarik
kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya.
Berdasarkan pemahaman
tersebut, teori pembelajaran kontekstual berfokus pada multi aspek
lingkungan belajar, diantaranya ruang kelas, laboratorium, sains, laboratorium
komputer, tempat bekerja maupun tempat-tempat lain (misalnya ladang, sungai,
dan sebagainya). Ia mendorong para guru untuk memilih dan mendesain
lingkungan belajar yang dimungkinkan untuk mengaitkan berbagai bentuk
pengalaman sosial, budaya, fisik, dan psikologi dalam mencapai hasil belajar.
Di dalam suatu lingkungan yang demikian, siswa menemui hubungan yang sangat
bermakna antara ide-ide abstrak dan penerapan praktis di dalam konteks dunia
nyata. Konsep dipahami melalui proses penemuan, pemberdayaan, dan hubungan.
Dengan demikian, siswa belajar
benar-benar diawali dengan pengetahuan, pengalaman, dan konteks
keseharian yang mereka miliki yang dikaitkan dengan konsep mata pelajaran
yang dipelajari di kelas, dan selanjutnya dimungkinkan untuk
mengimplementasikan dalam kehidupan keseharian mereka. Bawalah mereka dari dunia mereka ke dunia
kita, kemudian hantarkanlah mereka dari dunia kita ke dunia mereka
kembali.
Melalui pembelajaran
kontekstual diharapkan konsep-konsep materi pelajaran dapat diintegrasikan
dalam konteks kehidupan nyata dengan harapan siswa dapat memahami apa yang
dipelajarinya dengan baik dan mudah.
Beberapa
ciri pembelajaran kontekstual antara lain:
1. Siswa secara aktif
terlibat dalam proses pembelajaran,
2. Siswa belajar dari
teman melalui kerja kelompok, diskusi, dan saling mengoreksi,
3. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan
nyata dan atau masalah yang disimulasikan,
4.
Perilaku dibangun atas kesadaran diri,
5.
Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman,
6. Hadiah untuk perilaku
baik adalah kepuasan diri,
7. Siswa mengunakan
kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya
proses pembelajaran efektif, ikut bertanggungjawab atas terjadinya pembelajaran
yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.
Berkaitan dengan peran
guru, agar proses pengajaran kontekstual dapat lebih efektif kaitannya
dengan pembelajaran siswa, guru diharuskan merencanakan, mengimplementasikan,
merefleksikan dan menyempurnakan pembelajaran. Untuk keperluan itu, guru harus
melaksanakan beberapa hal sebagai berikut :
1. Mengkaji konsep atau
teori yang akan dipelajari oleh siswa.
2. Memahami
latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara
seksama.
3. Mempelajari
lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengkaitkannya dengan konsep atau
teori yang akan dibahas dalam
proses pembelajaran kontekstual.
4. Merancang
pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari
dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan
mereka.
5. Melaksanakan
pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengkaitkan apa yang sedang
dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengkaitkan
apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya siswa
didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa
terhadap konsep/ teori yang sedang dipelajarinya.
6. Melakukan
penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil penilaian tersebut dijadikan
sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan
pelaksanaannya.
Kemajuan belajar dinilai dari
proses secara berkelanjutan, bukan semata-mata dari hasilnya saja. Di dalam
pembelajaran kontekstual, evaluasi hasil pembelajaran dilakukan dengan menggunakan
Authenthic Assessment atau penilaian sebenarnya. Penilaian sebenarnya
merupakan penilaian terhadap kemampuan seseorang secara menyeluruh dari
berbagai kemampuan yang dimiliki secara nyata, dengan menghadirkan mereka ke
tantangan dunia nyata yang menuntut mereka untuk mengaplikasikan kemampuan
sesuai bidangnya.
Penilaian sebenarnya bertujuan
untuk memandirikan, memberdayakan, dan mengoptimalkan kemampuan siswa dalam
lingkup kompetensi nyata dan terbuka. Melalui penilaian sebenarnya siswa
memiliki peluang untuk memperoleh skor atau nilai yang sebenar-benarnya sesuai
kemampuan yang dimilikinya untuk dapat mengikuti persaingan yang sehat demi
terciptanya sumber daya manusia yang cakap, terampil, dan profesional.
Karakteristik penilaian sebenarnya antara lain: (a) dilaksanakan selama dan
sesudah proses pembelajaran berlangsung, (b) dapat digunakan untuk penilaian
formatif dan sumatif, (c) kemampuan yang diukur adalah keterampilan dan
performansi, bukan mengingat fakta, (d) penilaian harus menekankan kedalaman
pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasannya, (e) menggunakan berbagai
cara dan berbagai sumber, (f) berkesinambungan, (g) terintegrasi, dan (h) dapat
digunakan sebagai feed back (Nurhadi, 2003).
Penerapan pembelajaran
kontekstual memerlukan guru yang dapat memahami dan mampu menyajikan suatu
lingkungan belajar yang dapat membangun dan memperluas pengalaman siswa
sebelumnya dan responsif terhadap keragaman tipe pembelajaran siswa.
Pembelajaran hendaknya kontekstual dengan berbagai aktivitas di dalamnya, dapat
meningkatkan apa yang siswa ketahui, apa yang dapat dilakukannya termasuk
pengetahuan tentang bagaimana memecahkan dunia nyata. Untuk itu
diperlukan guru yang memiliki kemampuan mendesain dan menerapkan strategi
penilaian yang sesuai dengan isi materi, keragaman siswa, dan sekaligus dapat
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan apa yang mereka
ketahui termasuk bagaimana menggunakannya di dalam dan di luar sekolah. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa pembelajaran kontekstual memerlukan seorang guru
yang mampu bergerak melampui bentuk penilaian tradisional/konservatif yang
selama ini dipergunakan.
Tidak ada benar atau salah di
dalam strategi penilaian, persoalannya adalah bagaimana kita dapat memilih
suatu cara penilaian yang dapat menentukan mengenai apa yang siswa ketahui dan
apa yang dapat dilakukannya. Berbagai alat ukur atau strategi hanya dapat
dikatakan baik dengan melihat sejauh mana keterkaitannya dengan tujuan dan
dampak nyata (outcome) yang diharapkan dari suatu materi pelajaran.
Tujuan dan dampak suatu pelajaran seharusnya telah ditentukan sedemikian rupa
untuk mendorong ragam strategi penilaian yang akan mengukur prestasi siswa di
dalam suatu aktivitas pembelajaran. Penilaian yang dapat mengukur penerapan
pengetahuan di dalam berbagai konteks autentik seperti yang demikian itu,
dikenal dengan istilah penilaian autentik (Authentic Assessment),
penilaian autentik bertujuan untuk menyediakan informasi yang absah/benar dan
akurat mengenai apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa,
atau tentang kualitas program pendidikan. Penilaian sejauhmana pengetahuan dan
ketrampilan dipelajari dengan baik berarti termasuk juga pemanfaatannya di
dalam suatu konteks kehidupan nyata yang bermakna.
Strategi penilaian yang cocok
dengan kriteria yang dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik
penilaian sebagai berikut :
1. Penilaian kinerja (Performance
assessment): penilaian kinerja dikembangkan untuk menguji kemampuan siswa
dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan (apa yang mereka ketahui
dan dapat dilakukan) pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu.
Penilaian kinerja ini dapat dipersingkat atau diperluas dalam bentuk pertanyaan
terbuka (open-ended question) atau bentuk pilihan berguru (multiple
choice). Dalam pengertian yang lebih luas, penilaian kinerja dapat berupa
membaca, menulis, proyek, proses, pemecahan masalah, tugas analisis, atau
bentuk tugas-tugas lain yang memungkinkan siswa untuk mendemontrasikan
kemampuannya dalam memenuhi tujuan dan dampak tertentu.
2. Observasi sistematik (System Observation),
yang bermanfat untuk menyajikan informasi tentang dampak aktivitas pembelajaran
terhadap sikap siswa. Dalam hal ini, semua siswa diobservasi secara berkala dan
sering. Hasil observasi dicatat dalam bentuk sikap khusus maupun tidak, dan
selanjutnya dipergunakan oleh pengamat (Observer) untuk merefleksikan
dan menginterpretasikan apakah petunjuk siswa sesuai dengan tujuan dan outcome
pembelajaran. Kunci dari kebermanfaatan observasi adalah sistimatiknya. Suatu
observasi dikatakan bermanfaat, jika data dicatat dan dievaluasi serta
dipergunakan untuk meningkatkan prestasi (performa) siswa.
3. Portofolio (Portfolio)
adalah koleksi/kumpulan dari berbagai ketrampilan, ide, minat dan keberhasilan
atau prestasi siswa selama jangka waktu tertentu memberikan gambaran
perkembangan siswa setiap saat. Ia bukan harus selalu dalam bentuk catatan atau
tulisan, karena siswa yang tidak memiliki keterbatasan kemampuan dalam menulis
dapat juga menyampaikan pemahaman dan kinerjanya dengan menggunakan gambar,
model fisik atau alat peraga. Awalnya portfolio dipergunakan untuk menunjukkan
prestasi (performan) siswa di dalam berbagai bidang termasuk arsitektur,
seni grafik, fotograpi dan penulisan, tetapi sekarang ini, ia juga telah
dipergunakan untuk memperoleh contoh yang presentatif dari pekerjaan
siswa dalam satu disiplin (mata pelajaran) selama jangka waktu tertentu.
Seringkali siswa diberi kesempatan untuk menyeleksi pekerjaan yang mereka rasakan
terbaik untuk mempresentasikan pengetahuan dan usaha mereka selama dalam
tingkat/kelas tertentu misalnya nilai ujian yang terbaik, keberhasilannya dalam
merancang suatu percobaan dan sebagainya. Portfolio sangat berguna bagi siswa
dalam rangka mengembangkan keahliannya untuk menilai diri sendiri dan juga
memberikan kesempatan kepada mereka untuk memikirkan perkembangan dirinya. Oleh
karena itu, portfolio seharusnya dikumpulkan secara terintegrasi dan bersifat
reflektif, sehingga siswa mampu melihat gambaran yang luas mengenai bagaimana
dia membangun pengetahuan dan keahlian/ ketrampilannya serta menilai
efektifitas kinerjanya.
4.
Jurnal sains (Journal) merupakan suatu proses refleksi dimana siswa
berpikir tentang proses belajar dan hasilnya, kemudian menuliskan
ide-ide, minat dan pengalamannya. Dengan kata lain jurnal membantu siswa dalam
mengorganisasikan cara berpikirnya dan menuangkannya secara eksplisit dalam
bentuk gambar, tulisan dan bentuk lainnya.
5. Jurnal menyajikan suatu cara
bagi siswa untuk merefleksikan atau mengkaitkan pemikirannya dengan pemikiran
sebelumnya dan kemudian guru menguji refleksi tersebut untuk mengetahui atau
mengumpulkan informasi mengenai sejauhmana pemahaman berpikir siswa. Jurnal
sangat tepat untuk mendokumentasikan perubahan persepsi siswa terhadap diri
mereka sendiri dan kemampuannya.
2.2
Penerapan
Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Menulis Aksara Bali
Dalam strategi ini ada tujuh elemen penting, yaitu: penemuan (inquiry), pertanyaan
(questioning), konstruktivistik (constructivism), pemodelan (modeling),
masyarakat belajar (learning community), penilaian autentik (authentic
assessment), dan refleksi (reflection). Diharapkan ke tujuh unsur
ini dapat diaplikasikan dalam keseluruhan proses pembelajaran menulis. Selanjutnya ketujuh asas ini
dijelaskan di bawah ini:
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme
adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif
siswa berdasarkan pengalaman. Filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh
Mark Baldawin dan dikembangkan oleh Jean Piaget menganggap bahwa pengetahuan
itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, akan tetapi juga dari kemampuan
individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya. Piaget
menyatakan hakekat pengetahuan sebagai berikut:
a.
Pengetahuan bukanlah
merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan
konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b.
Subjek membentuk skema
kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
c.
Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang.
2. Inkuiri
Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri.
Artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dari penemuan melalui
proses berpikir secara sistematis. Belajar pada dasarnya merupakan proses
mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui proses mental
itulah, diharapkan siswa berkembang secara utuh baik intelektual, mental
emosional, maupun pribadinya. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan
melalui beberapa langkah, yaitu:
a.
Merumuskan masalah
b.
Mengajukan hipotesis
c.
Mengumpulkan data
d.
Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
e.
Membuat kesimpulan.
Melalui proses berpikir yang sistematis seperti di atas, diharapkan siswa
memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis, yang kesemuanya itu diperlukan
sebagai dasar pembentukan kreativitas.
3. Bertanya (questioning)
Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab
pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap
individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam
berpikir. Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat
berguna untuk:
1.
Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan
materi;
2.
Membangkitkan motivasi belajar siswa untuk belajar;
3.
Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu;
4.
Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan; dan
5.
Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
4. Masyarakat belajar (learning community)
Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia
menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi
dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin akan dapat terselesaikan
sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan orang lain (sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok).
5. Pemodelan (modeling)
Yang dimaksud dengan asas modeling adalah, proses pembelajaran dengan
memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.
Misalnya siswa yang pernah menjadi juara membaca puisi dapat disuruh untuk
menampilkan kebolehannya di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat
dianggap sebagai model.
6. Refleksi (reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang
telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali
kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Dalam
proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses
pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk “merenung” atau
mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya.
Refleksi merupakan respon terhadap
pengalaman yang telah dilakukan, aktivitas yang baru dijalani, dan pengetahuan
yang baru saja diterima. Dengan merefleksikan sesuatu, siswa merasa memperoleh
sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajari. Refleksi
tersebut dapat dilakukan per bagian, di akhir jam pelajaran, di akhir bab/tema,
atau dalam kesempatan apapun. Realisasi refleksi dapat berupa pernyataan
spontan siswa tentang apa yang diperolehnya hari itu, lagu, puisi, kata kunci,
cerita siswa, cerita guru, catatan di lembar kertas, diskusi, dan yang
lain-lainnya.
7. Penilaian nyata/ Autentik (authentic assessment)
Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hanya
ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi
perkembangan seluruh aspek, melalui penilaian nyata. Penilaian nyata (Authentic
Assessment), adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi
tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Oleh karena itu, tekanannya
diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.
Perkembangan belajar siswa tentunya perlu
guru ketahui. Dalam kontekstual, perkembangan belajar siswa dapat diketahui
melalui pengumpulan data dari aktivitas belajar siswa secara langsung di kelas.
Penilaian tidak dilakukan di belakang meja atau di rumah saja tetapi juga di
saat siswa aktif belajar di kelas. Dengan begitu, tidak akan ada komentar dari
siswa bahwa siswa X meskipun tidak banyak berbicara di kelas ternyata nilainya
bagus. Sedangkan siswa yang banyak mendebat, berbicara, dan bercerita mendapatkan
nilai rendah karena dalam ujian tulis bernilai rendah. Untuk itu, guru perlu
mengupayakan nilai siswa berasal dari sesuatu yang autentik.
Penilaian autentik dapat diperoleh melalui
projek, PR, kuis, karya siswa, presentasi, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil
tes tulis, karya tulis, atau yang lainnya. Dengan begitu, penilaian autentik
benar-benar menggambarkan proses siswa dalam belajar dari awal sampai akhir.
Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan, terintegrasi, terbuka, dan
terus-menerus.
Langkah dan contoh penerapan pembelajaran CTL
Untuk lebih
memahami bagaimana mengaplikasikan CTL dalam proses pembelajaran, di bawah ini
disajikan contoh penerapannya. Misalnya, pada suatu hari guru akan membelajarkan
anak tentang menulis aksara Bali. Kompetensi yang harus dicapai adalah kemampuan
anak untuk memahami aksara Bali dan jenis aksara Bali. Untuk mencapai
kompetensi tersebut dirumuskan beberapa indikator hasil belajar:
1.
Siswa dapat menjelaskan pengertian aksara Bali;
2.
Siswa dapat menjelaskan jenis-jenis aksara Bali;
3.
Siswa dapat menjelaskan perbedaan antara pasang aksara Bali
dan EYD dalam bahasa Bali ;
4.
Siswa dapat menulis atau menyalin kutipan naskah geguritan dengan
menggunakan aksara Bali .
Pola
pembelajaran CTL
Untuk mencapai kompetensi yang
sama dengan menggunakan CTL guru melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti
di bawah ini:
a. Pendahuluan
1) Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses
pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari.
2) Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL;
·
Siswa dibagi ke dalam beberapa
kelompok sesuai dengan jumlah siswa;
·
Tiap kelompok ditugaskan untuk
melakukan observasi, misalnya kelompok 1 dan 2 melakukan observasi tentang penggunaan pasang aksara Bali dan kelompok 3 dan 4 melakukan observasi tentang menulis atau menyalin kutipan geguritan misalnya geguritan
Saraswati dengan menggunakan uger-uger pasang aksara Bali;
·
Melalui observasi siswa ditugaskan
untuk mencatat berbagai hal yang belum dimengerti dalam menulis atau menyalin kutipan geguritan
Saraswati.
3) Guru melakukan Tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh
setiap siswa.
b.
Inti
Di dalam Kelas
1) Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya
masing-masing.
2) Siswa melaporkan hasil diskusi.
3) Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok
lain.
Penutup
1) Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar masalah menyalin kutipan geguritan aksara
Bali sesuai dengan
indikator hasil belajar yang harus dicapai.
2) Guru menugaskan siswa untuk menyalin geguritan yang diketahui dengan menggunakan
akasara Bali.
Beberapa hal penting dalam pembelajaran CTL
1.
CTL adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas
siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.
2.
CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi
proses berpengalaman dalam kehidupan nyata.
3.
Kelas, dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk
memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil
temuan mereka di lapangan.
4.
Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri, bukan hasil
pemberian dari orang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Sesuai dengan pembahasan maka dirumuskan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pembelajaran
kontekstual merupakan salah satu pendekatan pembelajaran komprehensif yang
menghubungkan langsung antara materi pelajaran dengan konteks kehidupan nyata
di mana siswa berada. Melalui pembelajaran kontekstual, siswa dapat lebih aktif
dan kreatif, dapat memperoleh pengalaman belajar yang lebih bermakna, dapat
menguasai materi secara mendalam dan luas, serta mengetahui aplikasinya secara
langsung dengan konteks kehidupan sehari-hari.
2. Tujuh elemen
penting, yaitu: penemuan (inquiry), pertanyaan (questioning), konstruktivistik
(constructivism), pemodelan (modeling), masyarakat belajar (learning
community), penilaian autentik (authentic assessment), dan refleksi (reflection).
3. Peran guru
dalam pembelajaran kontekstual sangat penting, terutama dalam merancang
skenario semua aktivitas pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas.
Aktivitas guru dalam pembelajaran lebih pada mengarahkan semua aktivitas siswa
untuk belajar secara langsung sesuai komponen-komponen pembelajaran
kontekstual, sehingga guru cenderung sebagai fasilitator.
3.2 Saran
Adapun saran-saran yang diharapkan
dalam penelitian ini adalah:
1.
Sebagai bahan informasi tentang konsep
pembelajaran kontekstual.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru untuk lebih
meningkatkan efektivitas penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran
menulis.
3. Memberikan motivasi kepada siswa untuk lebih
meningkatkan kemampuan yang dimiliki dalam pembelajaran menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar