Jumat, 20 September 2013

metode


PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Keberhasilan pendidikan formal sangat ditentukan oleh kegiatan pembelajaran yakni keterpaduan antara kegiatan guru dengan kegiatan siswa. Guru sebagai tenaga kependidikan yang berhadapan langsung dengan siswa berkewajiban untuk senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya untuk mengoptimalkan proses pembelajaran.
Beberapa masalah yang perlu diperhatikan dalam rangka mengoptimalkan proses pembelajaran misalnya, bagaimana menemukan cara yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut, bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswa, bagaimana seorang siswa dapat membuka wawasan berpikir dengan tingkat kecerdasan yang berbeda dari setiap siswa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka seorang guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran haruslah menguasai dan dapat menerapkan dengan baik komponen strategi pembelajaran yang terdiri dari pendekatan, metode, dan teknik.
Dengan kata lain guru merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas pendidikan karena guru adalah sumber daya aktif yang berhadapan langsung dengan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Tugas guru sangat kompleks bukan hanya memberi pengetahuan tetapi menuntun pembelajaran yang lebih bermakna, agar siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga memperoleh penguasaan keterampilan, serta dapat menghayati berbagai peristiwa yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan sehingga terjadi hubungan antara ilmu yang diperoleh di sekolah dengan kemampuan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Kenyataan ini menuntut guru agar lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran kontekstual mengasumsikan secara pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang, dan itu dapat terjadi melalui pencarian hubungan yang masuk akal dan bermanfaat (Umaedi, 2002). Dengan demikian siswa menemukan hubungan yang sangat bermakna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata. Konsep dipahami melalui proses penemuan pemberdayaan dan hubungan.
Salah satu indikator rendahnya mutu pendidikan karena kurangnya penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran. Siswa cenderung hanya menghafal materi, tidak memahami esensi makna materi, bahkan tidak mengetahui aplikasi tentang materi pembelajaran di dunia nyata. Materi dan cara pembelajaran di sekolah kurang terkait dengan konteks lingkungan kehidupan siswa, baik konteks sosial, budaya, geografi, dan karakteristik siswa itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kurang tepatnya pendekatan pembelajaran yang selama ini berlangsung di sekolah. Padahal, pembelajaran diyakini merupakan faktor paling esensial yang berpengaruh terhadap kualitas lulusan. Oleh karena itu, pengembangan pendekatan pembelajaran, yang salah satunya melalui inovasi pembelajaran kontekstual dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Pembelajaran menulis secara tradisional lebih menekankan hasil daripada proses dengan langkah-langkah:
1.      Siswa memilih topik yang ditentukan
2.      Siswa langsung praktik menulis
3.      Siswa mengumpulkan tulisan
4.      Guru menilai tulisan siswa sehingga siswa jenuh dan tidak tahu proses menulis yang sebenarnya.
Dalam konteks tersebut siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi kehidupannya. Dengan demikian mereka memposisikan diri sebagai dirinya sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk masa depannya. Dengan pembelajaran berbasis kontekstual diharapkan akan mempermudah dalam memahami serta dalam meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka masalah utama yang diteliti dalam penelitian ini ialah:

1.      Apakah konsep pembelajaran kontekstual itu?
2.       Bagaimanakah penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis akasara Bali?

1.3  Tujuan Penulisan

1.  Untuk mengetahui konsep pembelajaran kontekstual.
2.  Untuk mengetahui penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis aksara Bali.

1.4  Manfaat Penulisan

1.      Penelitian ini diharapkan memberi masukan berkenaan dengan penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis aksara Bali.
2.      Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru-guru bahasa Bali dan Sastra Indonesia sehingga dapat dijadikan acuan belajar dan mengevaluasi diri terhadap kemampuan yang dimilikinya.

1.5  Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang penulis ambil dalam paper ini hanya sebatas penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis aksara Bali.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Konsep Pembelajaran  Kontekstual
Pembelajaran kontekstual atau dikenal dengan istilah Contextual  Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan adanya keterkaitan konteks materi dan aktivitas pembelajaran dengan lingkungan dimana siswa berada, baik lingkungan sosial, budaya, geografis, dan pemahaman materi sebelumnya serta karakteristik siswa itu sendiri.
Pembelajaran kontekstual dimaksudkan untuk membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari suatu permasalahan ke permasalahan lain, dari satu konteks yang didukung oleh berbagai penelitian aktual di dalam ilmu kognitif dan teori-teori tingkah laku. Teori-teori ini dikemukakan Umedi (2002) sebagai berikut:
1.      Kontruktivisme berbasis pengetahuan, baik intruksi langsung maupun kegiatan konstruktivisme dapat sesuai dan efektif di dalam pencapaian tujuan belajar siswa
2.      Pembelajaran berbasis teori pertumbuhan kecerdasan, bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar akan memotivasi seseorang untuk terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan komitmen untuk belajar.
3.      Sosialisasi, belajar adalah proses sosial. Oleh karena itu faktor sosial dan budaya perlu diperhatikan dalam perencanaan pengajaran. Sifat dasar sosial dari belajar  dapat juga mengendalikan penentuan tujuan belajar.
4.      Pembelajaran sosial, pengetahuan dipandang sebagai pendistribusian dan penyebaran individu, orang lain, dan berbagai benda (Lave, 1998).
Dengan demikian belajar berdasarkan pembelajaran kontekstual hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka pikir yang dimilikinya (ingatan, pengalaman, dan tanggapan).
Sistem pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan ajar yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosial, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem pembelajaran kontekstual akan mengarahkan siswa melakukan delapan komponen sebagai berikut yaitu: melakukan hubungan bermakna, mengerjakan tugas/pekerjaan berarti, belajar mandiri, kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, mengarahkan kepribadian diri, mencapai standar tinggi, dan menggunakan penilaian sebenarnya.
Melalui pendekatan kontekstual diharapkan guru dapat menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hasil pembelajaran diharapkan dapat lebih bermakna bagi siswa untuk memecahkan persoalan, berpikir kritis, dan melaksanakan pengamatan serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya.
Berdasarkan pemahaman tersebut, teori pembelajaran kontekstual  berfokus pada multi aspek lingkungan belajar, diantaranya ruang kelas, laboratorium, sains, laboratorium komputer, tempat bekerja maupun tempat-tempat lain (misalnya ladang, sungai, dan sebagainya).  Ia mendorong para guru untuk memilih dan mendesain lingkungan belajar yang dimungkinkan untuk mengaitkan berbagai bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik, dan psikologi dalam mencapai hasil belajar. Di dalam suatu lingkungan yang demikian, siswa menemui hubungan yang sangat bermakna antara ide-ide abstrak dan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata. Konsep dipahami melalui proses penemuan, pemberdayaan, dan hubungan.
Dengan demikian, siswa belajar benar-benar diawali dengan   pengetahuan, pengalaman, dan konteks keseharian yang mereka miliki yang dikaitkan dengan konsep  mata pelajaran yang dipelajari di kelas, dan selanjutnya dimungkinkan untuk mengimplementasikan dalam kehidupan  keseharian mereka. Bawalah  mereka dari dunia mereka ke dunia kita, kemudian hantarkanlah  mereka dari dunia kita ke dunia mereka kembali.
Melalui pembelajaran kontekstual diharapkan konsep-konsep materi pelajaran dapat diintegrasikan dalam konteks kehidupan nyata dengan harapan siswa dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan baik dan mudah.
Beberapa ciri pembelajaran kontekstual antara lain:
1.      Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran,
2.      Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, dan saling mengoreksi,
3.     Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan,
 4.      Perilaku dibangun atas kesadaran diri,
5.      Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman,
6.      Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri,
7.     Siswa mengunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam  mengupayakan terjadinya proses pembelajaran efektif, ikut bertanggungjawab atas terjadinya pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.
Berkaitan dengan  peran guru,  agar proses pengajaran kontekstual dapat lebih efektif kaitannya dengan pembelajaran siswa, guru diharuskan merencanakan, mengimplementasikan, merefleksikan dan menyempurnakan pembelajaran. Untuk keperluan itu, guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa.
2.     Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
3.     Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya  memilih dan mengkaitkannya dengan konsep atau teori yang akan  dibahas  dalam proses pembelajaran kontekstual.
4.    Merancang pengajaran dengan mengkaitkan  konsep atau  teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka.
5.     Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengkaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengkaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya siswa didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa  terhadap konsep/ teori yang sedang dipelajarinya.
6.   Melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil penilaian tersebut  dijadikan sebagai bahan refleksi  terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya.
Kemajuan belajar dinilai dari proses secara berkelanjutan, bukan semata-mata dari hasilnya saja. Di dalam pembelajaran kontekstual, evaluasi hasil pembelajaran dilakukan dengan menggunakan Authenthic Assessment atau penilaian sebenarnya. Penilaian sebenarnya merupakan penilaian terhadap kemampuan seseorang secara menyeluruh dari berbagai kemampuan yang dimiliki secara nyata, dengan menghadirkan mereka ke tantangan dunia nyata yang menuntut mereka untuk mengaplikasikan kemampuan sesuai bidangnya.
Penilaian sebenarnya bertujuan untuk memandirikan, memberdayakan, dan mengoptimalkan kemampuan siswa dalam lingkup kompetensi nyata dan terbuka. Melalui penilaian sebenarnya siswa memiliki peluang untuk memperoleh skor atau nilai yang sebenar-benarnya sesuai kemampuan yang dimilikinya untuk dapat mengikuti persaingan yang sehat demi terciptanya sumber daya manusia yang cakap, terampil, dan profesional.  Karakteristik penilaian sebenarnya antara lain: (a) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (b) dapat digunakan untuk penilaian formatif dan sumatif, (c) kemampuan yang diukur adalah keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta, (d) penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasannya, (e) menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber, (f) berkesinambungan, (g) terintegrasi, dan (h) dapat digunakan sebagai feed back (Nurhadi, 2003). 
Penerapan pembelajaran kontekstual memerlukan guru yang dapat memahami dan mampu menyajikan suatu lingkungan belajar yang dapat membangun dan memperluas pengalaman siswa sebelumnya dan responsif terhadap keragaman tipe pembelajaran siswa. Pembelajaran hendaknya kontekstual dengan berbagai aktivitas di dalamnya, dapat meningkatkan apa yang siswa ketahui, apa yang dapat dilakukannya termasuk pengetahuan tentang bagaimana memecahkan dunia nyata.  Untuk itu diperlukan guru yang memiliki kemampuan  mendesain dan menerapkan strategi penilaian yang sesuai dengan isi materi, keragaman siswa, dan sekaligus dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan apa yang mereka ketahui termasuk bagaimana menggunakannya di dalam dan di luar sekolah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembelajaran kontekstual memerlukan seorang guru yang mampu bergerak melampui bentuk penilaian tradisional/konservatif yang selama ini dipergunakan.
Tidak ada benar atau salah di dalam strategi penilaian, persoalannya adalah bagaimana kita dapat memilih suatu cara penilaian yang dapat menentukan mengenai apa yang siswa ketahui dan apa yang dapat dilakukannya. Berbagai alat ukur atau strategi hanya dapat dikatakan baik dengan melihat sejauh mana keterkaitannya dengan tujuan dan dampak nyata (outcome) yang diharapkan dari suatu materi pelajaran. Tujuan dan dampak suatu pelajaran seharusnya telah ditentukan sedemikian rupa untuk mendorong ragam strategi penilaian yang akan mengukur prestasi siswa di dalam suatu aktivitas pembelajaran. Penilaian yang dapat mengukur penerapan pengetahuan di dalam berbagai konteks autentik seperti yang demikian itu, dikenal dengan istilah penilaian autentik (Authentic Assessment), penilaian autentik bertujuan untuk menyediakan informasi yang absah/benar dan akurat mengenai apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa, atau tentang kualitas program pendidikan. Penilaian sejauhmana pengetahuan dan ketrampilan dipelajari dengan baik berarti termasuk juga pemanfaatannya di dalam suatu konteks kehidupan nyata yang bermakna.
Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria yang dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian sebagai berikut :
1.      Penilaian kinerja (Performance assessment): penilaian kinerja dikembangkan untuk menguji kemampuan siswa dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan (apa yang mereka ketahui dan dapat dilakukan) pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu. Penilaian kinerja ini dapat dipersingkat atau diperluas dalam bentuk pertanyaan terbuka (open-ended question) atau bentuk pilihan berguru (multiple choice). Dalam pengertian yang lebih luas, penilaian kinerja dapat berupa membaca, menulis, proyek, proses, pemecahan masalah, tugas analisis, atau bentuk tugas-tugas lain yang memungkinkan siswa untuk mendemontrasikan kemampuannya dalam memenuhi tujuan dan dampak tertentu.
2.     Observasi sistematik (System Observation), yang bermanfat untuk menyajikan informasi tentang dampak aktivitas pembelajaran terhadap sikap siswa. Dalam hal ini, semua siswa diobservasi secara berkala dan sering. Hasil observasi dicatat dalam bentuk sikap khusus maupun tidak, dan selanjutnya dipergunakan oleh pengamat (Observer) untuk merefleksikan dan menginterpretasikan apakah petunjuk siswa sesuai dengan tujuan dan outcome pembelajaran. Kunci dari kebermanfaatan observasi adalah sistimatiknya. Suatu observasi dikatakan bermanfaat, jika data dicatat dan dievaluasi serta dipergunakan untuk meningkatkan prestasi (performa) siswa.
3.     Portofolio (Portfolio) adalah koleksi/kumpulan dari berbagai ketrampilan, ide, minat dan keberhasilan atau prestasi siswa selama jangka waktu tertentu memberikan gambaran perkembangan siswa setiap saat. Ia bukan harus selalu dalam bentuk catatan atau tulisan, karena siswa yang tidak memiliki keterbatasan kemampuan dalam menulis dapat juga menyampaikan pemahaman dan kinerjanya dengan menggunakan gambar, model fisik atau alat peraga. Awalnya portfolio dipergunakan untuk menunjukkan prestasi (performan) siswa di dalam berbagai bidang termasuk arsitektur, seni grafik, fotograpi dan penulisan, tetapi sekarang ini, ia juga telah dipergunakan untuk memperoleh contoh yang presentatif  dari pekerjaan siswa dalam satu disiplin (mata pelajaran) selama jangka waktu tertentu. Seringkali siswa diberi kesempatan untuk menyeleksi pekerjaan yang mereka rasakan terbaik untuk mempresentasikan pengetahuan dan usaha mereka selama dalam tingkat/kelas tertentu misalnya nilai ujian yang terbaik, keberhasilannya dalam merancang suatu percobaan dan sebagainya. Portfolio sangat berguna bagi siswa dalam rangka mengembangkan keahliannya untuk menilai diri sendiri dan juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk memikirkan perkembangan dirinya. Oleh karena itu, portfolio seharusnya dikumpulkan secara terintegrasi dan bersifat reflektif, sehingga siswa mampu melihat gambaran yang luas mengenai bagaimana dia membangun pengetahuan dan keahlian/ ketrampilannya serta menilai efektifitas kinerjanya.
4.      Jurnal sains (Journal) merupakan suatu proses refleksi dimana siswa berpikir tentang  proses belajar dan hasilnya, kemudian menuliskan ide-ide, minat dan pengalamannya. Dengan kata lain jurnal membantu siswa dalam mengorganisasikan cara berpikirnya dan menuangkannya secara eksplisit dalam bentuk gambar, tulisan dan bentuk lainnya.
5.    Jurnal menyajikan suatu cara bagi siswa untuk merefleksikan atau mengkaitkan pemikirannya dengan pemikiran sebelumnya dan kemudian guru menguji refleksi tersebut untuk mengetahui atau mengumpulkan informasi mengenai sejauhmana pemahaman berpikir siswa. Jurnal sangat tepat untuk mendokumentasikan perubahan persepsi siswa terhadap diri mereka sendiri dan kemampuannya.


2.2     Penerapan Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Menulis  Aksara Bali
Dalam strategi ini ada tujuh elemen penting, yaitu: penemuan (inquiry), pertanyaan (questioning), konstruktivistik (constructivism), pemodelan (modeling), masyarakat belajar (learning community), penilaian autentik (authentic assessment), dan refleksi (reflection). Diharapkan ke tujuh unsur ini dapat diaplikasikan dalam keseluruhan proses pembelajaran menulis. Selanjutnya ketujuh asas ini dijelaskan di bawah ini:

1.     Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldawin dan dikembangkan oleh Jean Piaget menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya. Piaget menyatakan hakekat pengetahuan sebagai berikut:
a.        Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b.       Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
c.       Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang.

2.     Inkuiri
Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dari penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui proses mental itulah, diharapkan siswa berkembang secara utuh baik intelektual, mental emosional, maupun pribadinya. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:
a.       Merumuskan masalah
b.      Mengajukan hipotesis
c.       Mengumpulkan data
d.      Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
e.       Membuat kesimpulan.
Melalui proses berpikir yang sistematis seperti di atas, diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis, yang kesemuanya itu diperlukan sebagai dasar pembentukan kreativitas.
3.     Bertanya (questioning)
Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk:
1.      Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi;
2.      Membangkitkan motivasi belajar siswa untuk belajar;
3.      Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu;
4.      Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan; dan
5.      Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.

4.     Masyarakat belajar (learning community)
Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin akan dapat terselesaikan sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan orang lain (sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok).

5.     Pemodelan (modeling)
Yang dimaksud dengan asas modeling adalah, proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model.

6.     Refleksi (reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk “merenung” atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya.
Refleksi merupakan respon terhadap pengalaman yang telah dilakukan, aktivitas yang baru dijalani, dan pengetahuan yang baru saja diterima. Dengan merefleksikan sesuatu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajari. Refleksi tersebut dapat dilakukan per bagian, di akhir jam pelajaran, di akhir bab/tema, atau dalam kesempatan apapun. Realisasi refleksi dapat berupa pernyataan spontan siswa tentang apa yang diperolehnya hari itu, lagu, puisi, kata kunci, cerita siswa, cerita guru, catatan di lembar kertas, diskusi, dan yang lain-lainnya.
7.     Penilaian nyata/ Autentik (authentic assessment)
Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek, melalui penilaian nyata. Penilaian nyata (Authentic Assessment), adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Oleh karena itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.
Perkembangan belajar siswa tentunya perlu guru ketahui. Dalam kontekstual, perkembangan belajar siswa dapat diketahui melalui pengumpulan data dari aktivitas belajar siswa secara langsung di kelas. Penilaian tidak dilakukan di belakang meja atau di rumah saja tetapi juga di saat siswa aktif belajar di kelas. Dengan begitu, tidak akan ada komentar dari siswa bahwa siswa X meskipun tidak banyak berbicara di kelas ternyata nilainya bagus. Sedangkan siswa yang banyak mendebat, berbicara, dan bercerita mendapatkan nilai rendah karena dalam ujian tulis bernilai rendah. Untuk itu, guru perlu mengupayakan nilai siswa berasal dari sesuatu yang autentik.
Penilaian autentik dapat diperoleh melalui projek, PR, kuis, karya siswa, presentasi, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis, karya tulis, atau yang lainnya. Dengan begitu, penilaian autentik benar-benar menggambarkan proses siswa dalam belajar dari awal sampai akhir. Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan, terintegrasi, terbuka, dan terus-menerus.

*    Langkah dan contoh penerapan pembelajaran CTL
     Untuk lebih memahami bagaimana mengaplikasikan CTL dalam proses pembelajaran, di bawah ini disajikan contoh penerapannya. Misalnya, pada suatu hari guru akan membelajarkan anak tentang menulis aksara Bali. Kompetensi yang harus dicapai adalah kemampuan anak untuk memahami aksara Bali dan jenis aksara Bali. Untuk mencapai kompetensi tersebut dirumuskan beberapa indikator hasil belajar:
1.      Siswa dapat menjelaskan pengertian aksara Bali;
2.      Siswa dapat menjelaskan jenis-jenis aksara Bali;
3.      Siswa dapat menjelaskan perbedaan antara pasang aksara Bali dan EYD dalam bahasa Bali ;
4.      Siswa dapat menulis atau menyalin kutipan naskah geguritan dengan menggunakan aksara Bali .
*                Pola pembelajaran CTL
Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan CTL guru melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti di bawah ini:
a.       Pendahuluan
1)      Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari.
2)      Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL;
·         Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa;
·         Tiap kelompok ditugaskan untuk melakukan observasi, misalnya kelompok 1 dan 2 melakukan observasi  tentang penggunaan pasang aksara Bali dan kelompok 3 dan 4 melakukan observasi tentang menulis atau  menyalin kutipan geguritan misalnya geguritan Saraswati dengan menggunakan uger-uger pasang aksara Bali;
·         Melalui observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang belum dimengerti dalam menulis atau menyalin kutipan geguritan Saraswati.
3)      Guru melakukan Tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa.
b.      Inti

Di dalam Kelas
1)      Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
2)      Siswa melaporkan hasil diskusi.
3)      Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain.
Penutup
1)      Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar masalah menyalin kutipan geguritan aksara Bali  sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai.
2)      Guru menugaskan siswa untuk menyalin geguritan yang diketahui dengan menggunakan akasara Bali.  
*    Beberapa hal penting dalam pembelajaran CTL
1.     CTL adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.
2.     CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan nyata.
3.     Kelas, dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan.
4.     Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri, bukan hasil pemberian dari orang lain.



BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan
 Sesuai dengan pembahasan maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pendekatan pembelajaran komprehensif yang menghubungkan langsung antara materi pelajaran dengan konteks kehidupan nyata di mana siswa berada. Melalui pembelajaran kontekstual, siswa dapat lebih aktif dan kreatif, dapat memperoleh pengalaman belajar yang lebih bermakna, dapat menguasai materi secara mendalam dan luas, serta mengetahui aplikasinya secara langsung dengan konteks kehidupan sehari-hari.
2.      Tujuh elemen penting, yaitu: penemuan (inquiry), pertanyaan (questioning), konstruktivistik (constructivism), pemodelan (modeling), masyarakat belajar (learning community), penilaian autentik (authentic assessment), dan refleksi (reflection).
3.      Peran guru dalam pembelajaran kontekstual sangat penting, terutama dalam merancang skenario semua aktivitas pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Aktivitas guru dalam pembelajaran lebih pada mengarahkan semua aktivitas siswa untuk belajar secara langsung sesuai komponen-komponen pembelajaran kontekstual, sehingga guru cenderung sebagai fasilitator.
3.2  Saran
Adapun saran-saran  yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.      Sebagai bahan informasi tentang konsep pembelajaran kontekstual.
2.      Sebagai bahan pertimbangan bagi guru untuk lebih meningkatkan efektivitas penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis.
3.      Memberikan motivasi kepada siswa untuk lebih meningkatkan kemampuan yang dimiliki dalam pembelajaran menulis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar