BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini
akan disajikan hal-hal : (1) latar
belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian,(4) ruang lingkup
penelitian, (5) manfaat penelitian. Secara
rinci hal-hal tersebut dijelaskan
satu per satu di bawah ini.
1.1 Latar
Belakang
Bahasa Bali adalah salah satu
bahasa daerah di Indonesia yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat
penuturnya, yaitu etnis Bali. Bahasa Bali sebagai bahasa ibu atau bahasa
pertama bagi sebagian besar masyarakat Bali, dipakai secara luas sebagai alat
komunikasi dalam berbagai aktivitas di dalam dan di luar rumah tangga yang
mencakupi berbagai aktivitas kehidupan sosial masyarakat Bali. Oleh karena itu,
bahasa Bali merupakan pendukung kebudayaan Bali yang tetap hidup dan berkembang
di Bali. Dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Bali didukung lebih oleh dua
setengah juta jiwa dan memiliki tradisi tulis sehingga bahasa Bali termasuk
bahasa daerah besar diantara beberapa bahasa daerah di Indonesia (Sulaga dkk,1996:1).
Keberadaan bahasa Bali
memiliki variasi yang cukup rumit karena adanya sor-singgih yang ditentukan oleh pembicara, lawan bicara, dan
hal-hal yang dibicarakan. Secara umum, variasi bahasa Bali dapat dibedakan
atas, variasi temporal, regional dan sosial. Variasi temporal memberikan
indikasi kesejarahan dan perkembangan bahasa dalam arti luas. Secara temporal,
bahasa Bali dibedakan menjadi: bahasa Bali Kuno, Bali Tengahan dan Bali Kepara.
Secara regional bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yaitu: Bali Aga dan dialek
Bali Daratan (umum, lumrah). Berdasarkan dimensi sosial bahasa Bali mengenal
adanya sor-singgih basa atau tingkat
tutur bahasa yang menyebabkan variasi di bidang kata.
Bahasa Bali dipakai sebagai bahasa
pergaulan sehari-hari oleh masyarakat Bali, maka bahasa Bali harus tetap
dilestarikan dan dikembangkan melalui, pengajaran bahasa Bali di sekolah yang
mencakup pengajaran bahasa, aksara, dan sastra Bali, yaitu tidak bisa lepas
dari usaha pengembangan dan melestarikan bahasa Bali. Usaha pengembangan bahasa
Bali dapat terwujud melalui pendidikan bahasa Bali baik secara formal maupun
informal. Pendidikan bahasa Bali secara formal diajarkan di sekolah dalam
kurikulum muatan lokal.
Muatan lokal merupakan kegiatan
ekstra kurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi siswa sesuai
dengan ciri khas dan potensi daerah, dan termasuk keunggulan daerah.
Pembelajaran dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran atau tenaga ahli dari
luar sekolah yang relevan dengan substansi mulok. Oleh karena itu, pengajaran
bahasa Bali di sekolah sangat relevan dengan pendidikan bahasa Bali.
Secara umum, tujuan dari
pengajaran bahasa Bali adalah mendidik dan melatih siswa agar mampu
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Artinya, seorang
siswa diharapkan mampu menggunakan dan berkomunikasi baik secara lisan dan
tertulis dalam berbagai tujuan dan situasi. Maka dengan demikian pengajaran
bahasa Bali merupakan salah satu program dalam mengembangkan pengetahuan
keterampilan, dan sikap positif terhadap bahasa, aksara, dan sastra Bali. Pada
dasarnya melalui pengajaran tersebut diharapkan agar siswa terampil berbahasa.
Maka di setiap daerah di Indonesia diajarkan bahasa daerah yang dimasukkan
dalam muatan lokal, dan pengajaran bahasa daerah tidak berbeda dengan pengajaran
bahasa Indonesia, yaitu menekankan aspek menyimak, berbicara, membaca, menulis,
serta apresiasi sastra.
Aspek-aspek bahasa daerah Bali
tidak berbeda dengan pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu menekankan aspek
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pada pembelajaran bahasa Bali yaitu
semacam kata-kata kias (majas) yang di gunakan oleh pembicara untuk memerintah
bahasanya, memberikan pujian, menyindir ataupun mencemooh seseorang dengan
ungkapan-ungkapan yang halus. Simpen (2010: 3) mengatakan paribasa Bali adalah bicara atau kata-kata, ajaran, teguran,
celaan, hardikan, cambukan dan hukuman.
Penggunaan paribasa Bali tidak asing didengar dalam kontek berbahasa Bali,
misalnya pada acara meminang paribasa Bali
sering digunakan untuk mengungkapkan maksud si pembicara. Selain itu paribasa Bali cukup banyak digunakan pada pementasan
kesenian Bali, seperti drama gong, arja, wayang kulit, dan sebagainya.
Penggunaan paribasa Bali dalam
pementasan kesenian berfungsi untuk memperindah bahasa dan juga untuk membuat
lelucon yang dapat mengundang tawa penikmatnya.
Bahasa sangat erat hubungannya
dengan komunikasi, karena manusia hidup tidak bisa lepas dari komunikasi baik
dalam lingkungan masyarakat, dan lingkungan pergaulan alat yang digunakan untuk
berkomunikasi adalah bahasa. Dimana bahasa merupakan wadah atau gagasan dari
para pelibat, berdasarkan hakikat bahasa secara linguistik bahasa dinyatakan
sebagai alat komunikasi simbolik yang berupa sistem bunyi arbiter. ( Arnawa,
2006: 26).
Karya sastra, merupakan ungkapan
tradisi Bali yang kemudian dikenal dengan paribasa
Bali merupakan salah satu aspek dari bidang kesusastraan yang mengandung
nilai-nilai luhur serta berpengaruh bagi pandangan masyarakat penuturnya. Pada
buku basita paribasa yang di tulis
oleh Wayan Simpen AB disebutkan ada enam belas jenis paribasa Bali, yaitu (1) Sesonggan (pepatah), (2) Sesenggakan (ibarat), (3) wewangsalan (tamsil), (4) sloka (bidal), (5) bladbadan (metafora), (6) peparikan
(pantun/madah), (7) papidan (perumpamaan), (8) sesawangan (perumpamaan), (9) cecimpedan (teka-teki), (10) cecangkriman
(syair teka-teki), (10) cecangkriman (syair teka-teki), (11) cecangkitan (olok-olokan), (12) raos ngempelin (lawakan), (13) sasimbing (sindiran), (14) sasemon (sindiran halus), (15) sipta (alamat), (16) sesapan (doa).
Pengajaran bahasa Bali
sesungguhnya paribasa Bali sudah
diajarkan sejak para siswa duduk di sekolah dasar hingga sekolah menengah,
sesuai dengan tingkatan kemampuan mereka dengan mempertimbangkan keseimbangan,
keluasan, dan kedalaman materi yang diajarkan. Pada umumnya seorang guru dari
tahun ke tahun hanya mengajarkan jenis paribasa
Bali tersebut sebatas memahami makna sesonggan,
sesenggakan, wewangsalan, peparikan, sloka, bladbadan, sesawangan, papidan, dan
cecimpedan. Sementara itu, realita berbahasa anak muda sekarang sangat
jarang menggunakan ungkapan atau gaya bahasa yang termasuk jenis paribasa Bali karena mereka cendrung
menggunakan bahasa Indonesia termasuk yang digunakan sebagai ungkapan-ungkapan
atau sindiran-sindiran terhadap teman sejawatnya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa pembelajaran paribasa Bali
masih mengalami banyak permasalahan, baik dari segi proses maupun dari segi
hasil belajar bahasa Bali masih sangat rendah, khususnya kemampuan siswa di
dalam berbicara basita paribasa.
Rendahnya
kemampuan siswa dalam berbicara basita paribasa
khususnya cecimpedan juga ditemukan
di SD Negeri 10 Sumerta. Berdasarkan observasi awal dan wawancara dengan Ibu Ni
Nyoman Sutarpini, S.Pd sebagai guru bahasa Bali,diperoleh informasi bahwa
kemampuan menebak teka-teki bahasa Bali 'cecimpedan'
masih sangat rendah. Rendahnya kemampuan siswa dalam paribasa Bali disebabkan oleh kurang
berminatnya siswa terhadap pelajaran bahasa Bali dan model pembelajaran yang
diterapkan oleh guru yang cenderung membosankan, yaitu lebih banyak
mempergunakan metode ceramah. Metode ceramah kurang memberikan latihan kepada
siswa untuk berbicara. Oleh sebab itu, pembelajaran dengan menggunakan metode
ceramah dirasakan kurang pas untuk pembelajaran paribasa Bali, karena siswa cenderung merasa bosan, pembelajaran
menjadi tidak menarik dan kurang bermakna. Penggunaan metode tersebut
menyebabkan kurangnya motivasi belajar yang mempengaruhi hasil belajar siswa
sehingga masih banyak siswa yang tidak memenuhi KKM.
Memperhatikan hal tersebut,
penulis merasa prihatin terhadap perkembangan bahasa yang sangat indah tersebut
hilang dari perhatian kebahasaan di Bali. Beranjak dari hal tersebut timbul
keinginan penulis untuk mengetahui kemampuan menggunakan basita paribasa terutama cecimpedan sebagai salah satu aspek kebahasaan yang mampu
memberikan kesan keindahan dalam berbahasa Bali. Dalam penelitian ini penulis
ingin mengetahui secara lebih spesifik kemampuan siswa dalam menggunakan salah
satu jenis basita paribasa yaitu cecimpedan 'teka-teki'.
Alasan lainnya yang
menyebabkan peneliti tertarik dengan fenomena ini karena di dalam kurikulum pembelajaran
bahasa daerah Bali untuk sekolah dasar dengan jelas diredaksikan sebuah
indikator yang mengarah pada kemampuan siswa dalam menebak makna teka-teki
tradisional Bali. Setelah dilakukan penelitian pendahuluan di lokasi
penelitian, yang dimaksud dengan teka-teki tradisional Bali adalah cecimpedan. Selain itu, cecimpedan merupakan materi yang cukup
penting diperdalam pemahamannya oleh para siswa sekolah dasar karena sering