Kamis, 16 Januari 2014

pendahuluan


Latar Belakang
Bahasa daerah merupakan bahasa ibu, sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional dan bahasa resmi bangsa Indonesia. Bahasa daerah merupakan salah satu warisan budaya bangsa. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara yang di dalamnya mengatur pentingnya perlindungan, pelestarian dan pembinaan bahasa dan sastra daerah.
Bahasa daerah perlu terus dipelihara agar tetap mampu menjadi ungkapan budaya, sebagai unsur kreativitas dan sumber kekuatan masyarakat.Sejalan dengan itu perlu ditingkatkan penelitian, pengkajian, dan pengembangan bahasa, aksara dan sastra daerah.
Di samping itu, sebagai upaya mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka pembentukan kebudayaan Nasional perlu dilakukan usaha-usaha menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai budaya daerah yang luhur, mampu menyerap dan menyaring nilai-nilai dari luar yang positif dalam rangka pembaharuan serta mencegah sikap-sikap feodal dan kedaerahan yang mempersempit wawasan Kebudayaan Nasional.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, sudah menjadi kewajiban Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Tingkat I Bali untuk membina, mengembangkan dan melestarikan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali secara utuh (yaitu meliputi Bahasa Bali, Aksara Bali dan Sastra Bali serta Bahasa Kawi), dan sekaligus memantapkan kedudukan dan fungsinya secara formal sebagai aset dasar pembangunan Daerah Bali disamping Bahasa Indonesia. Hal ini sekaligus merupakan jawaban atas kekhawatiran atau sinyalemen sementara pihak terutama para pendidik, pakar, tokoh-tokoh masyarakat, sastrawan, agamawan dan Iain-lain; bahwa Bahasa Bali secara keseluruhan akan punah apabila tidak ditangani secara sungguh-sungguh.
Selain upaya yang dilakukan oleh pemerintah peran serta masyarakat dan media-media pers juga sangat diperlukan untuk dapat melestarikan bahasa sastra Bali.

Jumat, 03 Januari 2014

BAB I


BAB I
PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini akan disajikan  hal-hal : (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian,(4) ruang lingkup penelitian, (5) manfaat penelitian.  Secara rinci hal-hal tersebut dijelaskan satu per satu di bawah ini.
1.1 Latar Belakang
Bahasa Bali adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya, yaitu etnis Bali. Bahasa Bali sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar masyarakat Bali, dipakai secara luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai aktivitas di dalam dan di luar rumah tangga yang mencakupi berbagai aktivitas kehidupan sosial masyarakat Bali. Oleh karena itu, bahasa Bali merupakan pendukung kebudayaan Bali yang tetap hidup dan berkembang di Bali. Dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Bali didukung lebih oleh dua setengah juta jiwa dan memiliki tradisi tulis sehingga bahasa Bali termasuk bahasa daerah besar diantara beberapa bahasa daerah di Indonesia (Sulaga  dkk,1996:1).
1
 
Keberadaan bahasa Bali memiliki variasi yang cukup rumit karena adanya sor-singgih yang ditentukan oleh pembicara, lawan bicara, dan hal-hal yang dibicarakan. Secara umum, variasi bahasa Bali dapat dibedakan atas, variasi temporal, regional dan sosial. Variasi temporal memberikan indikasi kesejarahan dan perkembangan bahasa dalam arti luas. Secara temporal, bahasa Bali dibedakan menjadi: bahasa Bali Kuno, Bali Tengahan dan Bali Kepara. Secara regional bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yaitu: Bali Aga dan dialek Bali Daratan (umum, lumrah). Berdasarkan dimensi sosial bahasa Bali mengenal adanya sor-singgih basa atau tingkat tutur bahasa yang menyebabkan variasi di bidang kata.
Bahasa Bali dipakai sebagai bahasa pergaulan sehari-hari oleh masyarakat Bali, maka bahasa Bali harus tetap dilestarikan dan dikembangkan melalui, pengajaran bahasa Bali di sekolah yang mencakup pengajaran bahasa, aksara, dan sastra Bali, yaitu tidak bisa lepas dari usaha pengembangan dan melestarikan bahasa Bali. Usaha pengembangan bahasa Bali dapat terwujud melalui pendidikan bahasa Bali baik secara formal maupun informal. Pendidikan bahasa Bali secara formal diajarkan di sekolah dalam kurikulum muatan lokal.
Muatan lokal merupakan kegiatan ekstra kurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi siswa sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah, dan termasuk keunggulan daerah. Pembelajaran dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran atau tenaga ahli dari luar sekolah yang relevan dengan substansi mulok. Oleh karena itu, pengajaran bahasa Bali di sekolah sangat relevan dengan pendidikan bahasa Bali.
Secara umum, tujuan dari pengajaran bahasa Bali adalah mendidik dan melatih siswa agar mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Artinya, seorang siswa diharapkan mampu menggunakan dan berkomunikasi baik secara lisan dan tertulis dalam berbagai tujuan dan situasi. Maka dengan demikian pengajaran bahasa Bali merupakan salah satu program dalam mengembangkan pengetahuan keterampilan, dan sikap positif terhadap bahasa, aksara, dan sastra Bali. Pada dasarnya melalui pengajaran tersebut diharapkan agar siswa terampil berbahasa. Maka di setiap daerah di Indonesia diajarkan bahasa daerah yang dimasukkan dalam muatan lokal, dan pengajaran bahasa daerah tidak berbeda dengan pengajaran bahasa Indonesia, yaitu menekankan aspek menyimak, berbicara, membaca, menulis, serta apresiasi sastra.   
Aspek-aspek bahasa daerah Bali tidak berbeda dengan pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu menekankan aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pada pembelajaran bahasa Bali yaitu semacam kata-kata kias (majas) yang di gunakan oleh pembicara untuk memerintah bahasanya, memberikan pujian, menyindir ataupun mencemooh seseorang dengan ungkapan-ungkapan yang halus. Simpen (2010: 3) mengatakan paribasa Bali adalah bicara atau kata-kata, ajaran, teguran, celaan, hardikan, cambukan dan hukuman.
Penggunaan paribasa Bali tidak asing didengar dalam kontek berbahasa Bali, misalnya pada acara meminang paribasa Bali sering digunakan untuk mengungkapkan maksud si pembicara. Selain itu paribasa  Bali cukup banyak digunakan pada pementasan kesenian Bali, seperti drama gong, arja, wayang kulit, dan sebagainya. Penggunaan paribasa Bali dalam pementasan kesenian berfungsi untuk memperindah bahasa dan juga untuk membuat lelucon yang dapat mengundang tawa penikmatnya.
Bahasa sangat erat hubungannya dengan komunikasi, karena manusia hidup tidak bisa lepas dari komunikasi baik dalam lingkungan masyarakat, dan lingkungan pergaulan alat yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa. Dimana bahasa merupakan wadah atau gagasan dari para pelibat, berdasarkan hakikat bahasa secara linguistik bahasa dinyatakan sebagai alat komunikasi simbolik yang berupa sistem bunyi arbiter. ( Arnawa, 2006: 26).
Karya sastra, merupakan ungkapan tradisi Bali yang kemudian dikenal dengan paribasa Bali merupakan salah satu aspek dari bidang kesusastraan yang mengandung nilai-nilai luhur serta berpengaruh bagi pandangan masyarakat penuturnya. Pada buku basita paribasa yang di tulis oleh Wayan Simpen AB disebutkan ada enam belas jenis paribasa Bali, yaitu (1)  Sesonggan (pepatah), (2) Sesenggakan (ibarat), (3) wewangsalan (tamsil), (4) sloka (bidal), (5) bladbadan (metafora), (6) peparikan (pantun/madah), (7)  papidan (perumpamaan), (8) sesawangan (perumpamaan), (9) cecimpedan (teka-teki), (10)  cecangkriman (syair teka-teki), (10)  cecangkriman (syair teka-teki), (11) cecangkitan (olok-olokan), (12) raos ngempelin (lawakan), (13) sasimbing (sindiran), (14) sasemon (sindiran halus), (15) sipta (alamat), (16) sesapan (doa).
Pengajaran bahasa Bali sesungguhnya paribasa Bali sudah diajarkan sejak para siswa duduk di sekolah dasar hingga sekolah menengah, sesuai dengan tingkatan kemampuan mereka dengan mempertimbangkan keseimbangan, keluasan, dan kedalaman materi yang diajarkan. Pada umumnya seorang guru dari tahun ke tahun hanya mengajarkan jenis paribasa Bali tersebut sebatas memahami makna sesonggan, sesenggakan, wewangsalan, peparikan, sloka, bladbadan, sesawangan, papidan, dan cecimpedan. Sementara itu, realita berbahasa anak muda sekarang sangat jarang menggunakan ungkapan atau gaya bahasa yang termasuk jenis paribasa Bali karena mereka cendrung menggunakan bahasa Indonesia termasuk yang digunakan sebagai ungkapan-ungkapan atau sindiran-sindiran terhadap teman sejawatnya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran paribasa Bali masih mengalami banyak permasalahan, baik dari segi proses maupun dari segi hasil belajar bahasa Bali masih sangat rendah, khususnya kemampuan siswa di dalam berbicara basita paribasa.
Rendahnya kemampuan siswa dalam berbicara basita paribasa khususnya cecimpedan juga ditemukan di SD Negeri 10 Sumerta. Berdasarkan observasi awal dan wawancara dengan Ibu Ni Nyoman Sutarpini, S.Pd sebagai guru bahasa Bali,diperoleh informasi bahwa kemampuan menebak teka-teki bahasa Bali  'cecimpedan'  masih sangat rendah. Rendahnya kemampuan siswa dalam paribasa Bali disebabkan oleh kurang berminatnya siswa terhadap pelajaran bahasa Bali dan model pembelajaran yang diterapkan oleh guru yang cenderung membosankan, yaitu lebih banyak mempergunakan metode ceramah. Metode ceramah kurang memberikan latihan kepada siswa untuk berbicara. Oleh sebab itu, pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah dirasakan kurang pas untuk pembelajaran paribasa Bali, karena siswa cenderung merasa bosan, pembelajaran menjadi tidak menarik dan kurang bermakna. Penggunaan metode tersebut menyebabkan kurangnya motivasi belajar yang mempengaruhi hasil belajar siswa sehingga masih banyak siswa yang tidak memenuhi KKM.
Memperhatikan hal tersebut, penulis merasa prihatin terhadap perkembangan bahasa yang sangat indah tersebut hilang dari perhatian kebahasaan di Bali. Beranjak dari hal tersebut timbul keinginan penulis untuk mengetahui kemampuan menggunakan basita paribasa terutama cecimpedan sebagai salah satu aspek kebahasaan yang mampu memberikan kesan keindahan dalam berbahasa Bali. Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui secara lebih spesifik kemampuan siswa dalam menggunakan salah satu jenis basita paribasa yaitu cecimpedan 'teka-teki'.
Alasan lainnya yang menyebabkan peneliti tertarik dengan fenomena ini karena di dalam kurikulum pembelajaran bahasa daerah Bali untuk sekolah dasar dengan jelas diredaksikan sebuah indikator yang mengarah pada kemampuan siswa dalam menebak makna teka-teki tradisional Bali. Setelah dilakukan penelitian pendahuluan di lokasi penelitian, yang dimaksud dengan teka-teki tradisional Bali adalah cecimpedan. Selain itu, cecimpedan merupakan materi yang cukup penting diperdalam pemahamannya oleh para siswa sekolah dasar karena sering