I.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tradisi nyurat
tal masih hidup dan lestari hingga kini di Bali. Istilah lontar
digunakan untuk menyebut tradisi sastra Bali atau tradisi budaya tulis-menulis
masyarakat tradisional yang dikenal dengan budaya lontar. Sejumlah manuscript menyebut rontal (material-palm) dan pohon ntal, mempunyai sifat yang keras, tinggi, dan sakral-religius.
Berdasarkan sifat-sifat itulah, maka tidak mengherankan jika sejak zaman dulu rontal sangat diindahkan oleh para rakawi sebagai bahan untuk menuangkan
segala petuah-petuah suci, berupa ajaran budi pekerti yang digunakan sebagai sesuluh hidup. Tradisi pengolahan rontal sebagai sarana tulis-menulis
telah terjadi sejak zaman silam, antara lain untuk menuliskan semua dokumen penting,
adat, serta budaya pada zamannya oleh para
rakawi dalam kegiatan olah sastra, selain dipakai sebagai sarana keagamaan,
seperti anyam-anyaman, jejahitan, lamak,
cili, dan lain-lainnya. Sebagai produk rontal
masyarakat Bali mengenal tiga jenis tal,
yakni: (1) Tal Taluh seratnya sangat
halus; (2) Tal Goak seratnya agak
kasar; dan (3) Tal Kedis seratnya
agak halus.
Sejumlah
peralatan yang seyogyanya disiapkan bagi panyurat
tal antara lain: (1) rontal (daun
tal) siap tulis; (2) pangrupak/pangutik; (3) bantalan/kasur alas
menulis; (4) dulang kayu sebagai alas
kasur; (5) penggaris dan pensil; (6) serbuk kemiri atau nagasari bakar; (7) panakep
kayu, bambu atau pupug; (8) benang, uang
kepeng; dan (9) kropak kayu untuk
tempat penyimpanan. Alat tulis lontar
bernama pangrupak/pangutik, terdiri
dari tiga sisi dengan ketajaman yang sama. Ketiga sisi ini akan dapat
menghasilkan bentuk aksara yang ngatumbah dan bulat. Peran jari tangan kanan
dan kiri terutama ibu jari sangat penting karena dapat memainkan pangrupak ke arah atas dan bawah serta
ke samping kiri-kanan aksara. Kedua permukaan (atas-bawah) digoresi secara
terampil dan penuh kesabaran, dengan sistem penomoran ganda (sisi b).
Jenis-jenis pangrupak yang dikenal
antara lain: (1) pangrupak untuk menulis
(kelancipannya 45 derajat); (2) pangrupak
untuk menggambar (membuat prasi) memiliki
kelancipan 70 derajat; dan (3) pangrupak
untuk memotong daun tal. Bentuk hiasannya pun berbeda-beda, antara
lain: ada yang berupa ekor ular, burung merak, Tualen, Ongkara, dan
sebagainya.
Setelah ditulis lalu digosok dengan tinta
tradisional terbuat dari kemiri, kelapa, dan buah nagasari bakar. Ketiga jenis
ini dilakukan dengan proses yang sama yakni dengan meletakkan di atas bara
hingga menjadi arang, kemudian digiling halus hingga berminyak. Tinta pekat
hitam itu, kemudian digosok perlahan pada torehan aksara tadi, hingga tampak
kontras dengan warna rontal
keseluruhan. Selanjutnya, lempir-lempir disusun rapi berdasarkan urutan
penomorannya, diikat dengan benang kapas melalui lubang tengah lontar
dilengkapi uang kepeng pada bagian atas lontar, dan diapit dengan penakep kayu, bambu, atau pupug. Dengan demikian, barulah dapat
disebut cakepan atau lontar. Hal ini sejalan dengan yang
tertera pada Aji Saraswati, PNRI Lt
944:6b, yang mengkaitkan keadaan lontar dengan kelima karakter tokoh Panca
Pandawa. Sejumlah tatacara ritual kaitannya dengan penulisan rontal, juga disebut dalam Aji Saraswati, PNRI. Lt 147:6a sebagai
berikut: (1) Sebelum memulai menulis harus memohon keselamatan kepada Hyang
Yogiswara yang difilsafatkan di kedua mata penulis; Bhagawan Mredu di kedua
tangan; Bhagawan Reka pada ujung pangrupak/pangutik,
sehingga tercapainya sesuatu yang utama dan bermakna, dan (2) Tidak boleh
mematikan aksara dengan mencoret, karena setiap aksara diyakini sebagai wahana
Hyang Widhi dalam prabawa-Nya sebagai
Hyang Saraswati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar