Kamis, 28 November 2013

nyurat lontar


I.     Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
 Tradisi nyurat tal masih hidup dan lestari hingga kini di Bali.  Istilah lontar digunakan untuk menyebut tradisi sastra Bali atau tradisi budaya tulis-menulis masyarakat tradisional yang dikenal dengan budaya lontar. Sejumlah manuscript menyebut rontal (material-palm) dan pohon ntal, mempunyai sifat yang keras, tinggi, dan sakral-religius. Berdasarkan sifat-sifat itulah, maka tidak mengherankan jika sejak zaman dulu rontal sangat diindahkan oleh para rakawi sebagai bahan untuk menuangkan segala petuah-petuah suci, berupa ajaran budi pekerti yang digunakan sebagai sesuluh hidup. Tradisi pengolahan rontal sebagai sarana tulis-menulis telah terjadi sejak zaman silam, antara lain untuk menuliskan semua dokumen penting, adat, serta budaya pada zamannya oleh para rakawi dalam kegiatan olah sastra, selain dipakai sebagai sarana keagamaan, seperti anyam-anyaman, jejahitan, lamak, cili, dan lain-lainnya. Sebagai produk rontal masyarakat Bali mengenal tiga jenis tal, yakni: (1) Tal Taluh seratnya sangat halus; (2) Tal Goak seratnya agak kasar; dan (3) Tal Kedis seratnya agak halus.  
 Sejumlah peralatan yang seyogyanya disiapkan bagi panyurat tal antara lain: (1) rontal (daun tal) siap tulis; (2) pangrupak/pangutik; (3) bantalan/kasur alas menulis; (4) dulang kayu sebagai alas kasur; (5) penggaris dan pensil; (6) serbuk kemiri atau nagasari bakar; (7) panakep kayu, bambu atau pupug; (8) benang, uang kepeng; dan (9) kropak kayu untuk tempat penyimpanan.  Alat tulis lontar bernama pangrupak/pangutik, terdiri dari tiga sisi dengan ketajaman yang sama. Ketiga sisi ini akan dapat menghasilkan bentuk aksara yang ngatumbah dan bulat. Peran jari tangan kanan dan kiri terutama ibu jari sangat penting karena dapat memainkan pangrupak ke arah atas dan bawah serta ke samping kiri-kanan aksara. Kedua permukaan (atas-bawah) digoresi secara terampil dan penuh kesabaran, dengan sistem penomoran ganda (sisi b). Jenis-jenis pangrupak yang dikenal antara lain: (1) pangrupak untuk menulis (kelancipannya 45 derajat); (2) pangrupak untuk menggambar (membuat prasi) memiliki kelancipan 70 derajat; dan (3) pangrupak untuk memotong daun tal.  Bentuk hiasannya pun berbeda-beda, antara lain: ada yang berupa ekor ular, burung merak, Tualen, Ongkara, dan sebagainya.
Setelah ditulis lalu digosok dengan tinta tradisional terbuat dari kemiri, kelapa, dan buah nagasari bakar. Ketiga jenis ini dilakukan dengan proses yang sama yakni dengan meletakkan di atas bara hingga menjadi arang, kemudian digiling halus hingga berminyak. Tinta pekat hitam itu, kemudian digosok perlahan pada torehan aksara tadi, hingga tampak kontras dengan warna rontal keseluruhan. Selanjutnya, lempir-lempir disusun rapi berdasarkan urutan penomorannya, diikat dengan benang kapas melalui lubang tengah lontar dilengkapi uang kepeng pada bagian atas lontar, dan diapit dengan penakep kayu, bambu, atau pupug. Dengan demikian, barulah dapat disebut cakepan atau lontar. Hal ini sejalan dengan yang tertera pada Aji Saraswati, PNRI Lt 944:6b, yang mengkaitkan keadaan lontar dengan kelima karakter tokoh Panca Pandawa. Sejumlah tatacara ritual kaitannya dengan penulisan rontal, juga disebut dalam Aji Saraswati, PNRI. Lt 147:6a sebagai berikut: (1) Sebelum memulai menulis harus memohon keselamatan kepada Hyang Yogiswara yang difilsafatkan di kedua mata penulis; Bhagawan Mredu di kedua tangan; Bhagawan Reka pada ujung pangrupak/pangutik, sehingga tercapainya sesuatu yang utama dan bermakna, dan (2) Tidak boleh mematikan aksara dengan mencoret, karena setiap aksara diyakini sebagai wahana Hyang Widhi dalam prabawa-Nya sebagai Hyang Saraswati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar